CERPEN 1
JAGOAN CILIK Wakhudin Asep merasa begitu kecewa. Keputusan ayahnya terasa tidak adil. Liburan yang lalu, permintaannya untuk berlibur di rumah Nenek di Bekasi. Sedangkan Minggu kemarin, rencana pergi ke Taman Mininya juga dibatalkan. Dan, malam Minggu ini Asep dikecewakan lagi. Cuma gara-gara terlambat pulang latihan pramuka, Ayah dan ibunya sudah pergi menghadiri resepsi Omnya di Hotel Sri Wedari. Sore itu hanya menemukan secarik kertas di atas meja kamarnya yang mengatakan mereka tidak bisa menunggunya terlalu lama. Dan tugas Asep adalah menunggu rumah. Begitu pesan di atas surat yang ditulis ayahnya. Membaca tulisan itu Asep menjadi lesu. Maka hingga pukul 19.00, ia tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Saking geramnya, jari-jari tangannya dikepalkan. Kemudian ia pukulkan ke atas meja belajar. ”Darrr!” bunyi meja kena tinju Asep. Asep belum puas. Ia kemudian memukul-mukulkan tangannya kiri dan kanan ke udara. Dengan gerakan yang tidak teratur, ia menambahkan dengan gerakan kaki ke berbagai sudut. Dengan demikian akhirnya anak yang sedang jengkel ini keringatan. Asep belum puas juga. Ia segera bertukar dengan baju karateka. Asep memang anggota karate. Ia kini menyandang sabuk cokelat. Karateka kecil ini berlari di tempat yang diteruskan dengan melemaskan semua otot. Ditambah dengan push-up dua puluh kali, set-up dua puluh kali, dan masih banyak lagi. Lalu Asep meneruskan melatih kata, semacam jurus. Ia mulai dari Kiang Sodang (Jurus satu), Kiyang Nidang (Jurus dua) dan seterusnya. Sampai berbagai jenis kata ia lakukan. Keringat mengucur ke seluruh tubuhnya bagai butiran jagung. Kemudian ia istirahat. Belum kering keringat yang membasahi badannya, tiba-tiba terdengar suara derit jendela yang dibuka orang. Suara itu terdengar mencurigakan. Asep menjadi waspada. Ia mendekati kamar, menunggu segala kemungkinan. Jendela mulai bergerak perlahan, da.... kuncinya terlepas. Sebentar kemudian jendela itu terbuka pelan. Dan muncullah sosok bayangan dari kegelapan. Bayangan itu menaiki jendela yang baru terbuka tadi. Tapi sayang, Asep tidak bisa mengenal orang itu. Karena ia mengenakan kai sarung sebagai penutup mukanya. ”Jleeg,” orang yang tek diundang itu kakinya menyentuh lantai, masuk. Tiba-tiba Asep berteriak keras. ”Hiaaat,” bersamaan dengan tendangan yang dilontarkannya yang telak mengenai ulu hati tamu tak diundang itu. Orang itu tersungkur, jatuh tertunduk. ”Siapa kau, berani masuk rumah ini . . .!” bentak Asep. ”Diam . . . jangan banyak tanya! Tujukan di mana simpanan uang bapakmu!” Pencuri itu bangkit lalu menyerap Asep. Tangannya yang besar diayunkan ke muka Asep. Asep menundukan kepalanya sedikit sambil menyarangkan pukulan tangan kanannya ke dagu pencuri itu. ”Buuk,” orang itu menyeringai kesakitan, tapi ia semakain garang. Kemudian dengan pukulan tangan kanan kiri ia berusaha menjatuhkan Asep. ”Anal kecil, rasakan ini . . .” Tapi nampaknya orang ini hanya mengandalkan badannya yang besar, tanpa dibarengi dengan pukulan yang benar. Sehingga Asep dapat menyimpulkan bahwa orang ini tidak menguasai bela diri. Asep kali kewalahan, karena diberondong dengan serangan tangan dan kaki. Tapi ia selalu waspada dan menghindar mundur sambil sesekali membalas pukulan ke arah muka. Suatu saat Aep mendapat kesempatan baik. Ketika pencuri ini menendangkan kaki kanannya ke perut Asep, ia hanya bergeser ke arah samping. Kemudian dengan tangan kanannya ia menangkap kaki si Pencuri yang belum sempat ditarik kembali. Dengan cepat dan kuat Asep membanting tubuhnya. Si Pencuri jatuh. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, Asep memberondongkan tinjunya ke arah muka dan perut. Si Pencuri mengerang kesakitan. Kemudian sambil berteriak, ”Maliiing, maliing . . ,” Asep berhasil membuka penutup muka manusia jahil itu. ”Ha . . .!” Asep kaget. Ternyata orang itu Bang Jayus. Seorang pemuda berandalan yang baru keluar dari penjara karena narkotika. Untung para tetangga segera berdatangan. Mereka beramai-ramai menangkap si Pencuri yang sial itu. Tidak lama kemudian Ayah, ibu serta Nanik adiknya pulang. Ibunya segera merangkul Asep dan menangis karena terharu. Ayahnya memandang dengan tajam karena bangga. Para tetangga segera menyerahkan maling itu ke polisi malam itu juga. Sejak saat itu di kampungnya Asep terkenal sebagai jagoan cilik. Dan yang membuatnya bahagia, kini Ayahnya memenuhi semua janjinya . . . |
Komentar